Thursday, June 15, 2017

Esensi Permendikbud Tentang Sekolah Lima Hari Dipertanyakan

Anak SD belajar, sumber: http://4.bp.blogspot.com
Wacana sekolah lima  hari yang kabarnya bakal diterapkan tahun ajaran baru, Juli mendatang, menuai pro-kontra. Para pakar pendidikan, dan juga kalangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) serta Organisasi Masyarakat (Ormas) pun ikut bersuara, menyikapi kebijakan tersebut. Sebagian pihak memberikan dukungan atas program tersebut. Disisi lain juga ada penolakan yang begitu derasnya. Sebenarnya apakah esensi dari program tersebut?

Menteri pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Prof Dr Muhadjir Effendy terbilang Menteri Pendidikan yang banyak mengeluarkan kebijakan sejak resmi menjabat menteri, 27 Juli 2016 lalu. Diantaranya ada kebijakan Full Day School, guru sertifikasi wajib delapan di sekolah, moratorium Ujian Nasional (UN), dan kemudian kebijakan sekolah selama lima hari dalam sepekan, mulai Senin hingga Jumat.
Yang saat ini ramai sedang diperbincangkan diberbagai ruang publik adalah kebijakan lima hari dalam sepekan yang bakal diterapkan tahun ajaran baru 2017/2018 Juli mendatan. Sebab mendatangkan banyak penolakan dari sebagian pihak. Misalnya dari Menteri Agama Lukman Hakim Saifudin, juga dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), kemudian dari PBNU serta beberapa ormas. Namun tidak sedikit pula yang memberikan dukungan atas keberanian mendikbud untuk menerapkan kebijakan tersebut.
Sebetulnya jika ditelaah mendalam, beberapa kebijakan Mendikbud sekolah lima itu sepaket dengan program Pendidikan Penguatan Karakter (PPK) atau kerap disebut full day school, juga kebijakan guru mengajar delapan jam di sekolah.
Program yang diarahkan untuk mendukung penanaman lima karakter yang dalam PPK. Yaitu, religius, nasionalisme, integritas, kemandirian dan gotong royong. Dijelaskan pula, penguatan karakter tersebut tidak berarti siswa akan belajar selama delapan jam di kelas. Tetapi bisa di lingkungan seperti surau, masjid, gereja, pura, lapangan sepak bola, musium, taman budaya, sanggar seni, dan tempat-tempat lainnya dapat menjadi sumber belajar. Proporsinya lebih banyak ke pembentukan karakter, sekitar 70 persen dan pengetahuan 30 persen.
Dengan pendidikan selama lima hari full di sekolah, diharapkan bisa dimaksimalkan untuk penanamkan nilai tersebut. Selebihnya, Sabtu Minggu siswa bisa mendapatkan pendidikan dari keluarga.
Tujuan dari adanya sistem yang wacanakan tersebut sangat baik. Masalahnya, apakah sekolah tersebut benar-benar siap menerapkan sistem tersebut? Hal itulah yang sejak perlu dikaji.

Butuh Kajian Akademik
Hadirnya sebuah kebijakan, setidaknya didasarkan pada kajian naskah akademik. Pertanyaannya, adakah hasil riset yang melandasi pengambilan kebijakan sekolah lima hari itu lebih efektif ketimbang enam hari di sekolah?
Kalaupun ada, mungkin hanya  di kota-kota besar saja. Misalnya di Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya dan Kota Malang. Sebab, realitas pendidikan di Indonesia dapat dikatakan belum merata hingga saat ini. Dan bisa jadi, Mendikbud mengadopsi sistem tersebut dari Kota Malang tempat menunaikan kewajibannya sebagai rektor UMM sebelum menjadi menteri.
Meskipun demikian, pendidikan enam hari pada umumnya harus dievaluasi terlebih dahulu. Adakah masalah yang terjadi dalam sistem tersebut? Jika problem utama adalah pendidikan karakter, tentu bukan jam efektif di sekolah yang harus dirubah. Namun bagaimana internalisasi lima nilai yang diharapkan dalam pembelajaran di sekolah. Sehingga porsi siswa belajar di sekolah, berinteraksi dengan masyarakat dan mendapat pendidikan dari keluarga tetap ada.
Jika dibandingkan dengan kebijakan lima hari sekolah dan seharinya delapan jam, mulai pukul 08.00 s.d 16.00, mungkin beban mendidik karakter siswa lebih pada dua pihak saja.  Yaitu sekolah serta orang tua di rumah. Sementara porsi siswa berinterasi dengan masyarakat bisa jadi tidak ada. Sebab dengan penuh seharian di sekolah, kemungkinan siswa terforsir dan tidak sempat bermain.
Untuk Sabtu-Minggu yang diharapkan siswa bisa berinteraksi dan mendapat pendidikan karater dari orang tua harus juga harus dikaji. Sebab, belum tentu dua hari tersebut libur kerja. Akibatnya, waktu libur lebih lama dari biasanya bisa jadi tidak terkontrol.
Lebih penting dari itu, karakteristik peserta didik di masing-masing daerah diketahui. Sebab, ada yang sehabis sekolah harus membantu orang tua bekerja bertani atau berternak untuk mencukupi kebutuhan sehar-hari.
Selain itu ada pula daerah yang juga memiliki tradisi penyelenggaran pendidikan madrasah diniyah (Madin) dan juga Taman Pendidikan Quran (TPQ) yang diselenggarakan sepulang sekolah, mulai pukul 15.00 WIB.
Selain itu membutuhkan faktor penunjang lainnya. Misalnya kanti sekolah yang sehat dan bisa melayani kebutuhan siswa selama full day di sekolah. Sarana belajar yang tidak membosankan, serta tempat ibadah yang cukup. Sudahkah sekolah memiliki fasilitas tersebut?
Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga menolak kebijakan tersebut. Sebab kebijakan itu dipastikan berpengaruh terhadap penyelenggaraan pendidikan keagamaan yang selama ini dikelola oleh masyarakat. Bahkan sudah menjadi bagian dari bentuk kearifan lokal yang tumbuh dan berkembang di masyarakat.

Sistem Pendidikan ala Local Wisdom Bisa Jadi Solusi 
Menyikapi polemik kebijakan sekolah lima hari, mungkin faktor local wisdom bisa menjadi pertimbangan. Sebab, diakui atau tidak, wilayah Indonesia ini sangat luas, terdiri dari belasan ribu pulau yang mengakibatkan persebaran pendidikan belum merata hingga saat ini. Akankah semua daerah dipaksa untuk menerapkan kebijakan tersebut Juli mendatang?
Memaksa mungkin saja, tetapi apakah esensi yang dimaksudkan bisa dicapai? untuk mencapainya membutuhkan proses penyesuaian. Bagaimana pendidikan karakter dengan lima nilai yang dimaksudkan, bisa diinternalisasi nilai-nilai itu pada jam sekolah.
Sebetulnya, pemberlakukan otonomi daerah Undang-undang (UU) 23 Tahun 2014 tentang pemerintah daerah, bisa membantu dalam internalisasi nilai-nilai yang dimaksudkan dalam PPK tanpa harus mengikuti sekolah lima hari. Pemerintah kabupaten/kota bertanggung jawab untuk pelaksanaan SD/SMP. Kemudian Provinsi bertanggungjawab atas SMA/SMK.
Yang memungkinkan rutinitas sepulang sekolah biasaya ada kegiatan TPQ atau mungkin bisa menjalin menjalin kerjasama dengan sekolah, sehingga aktivitas mengaji dan memperdalam wawasan religius tetap jalan. Sehingga  tradisi tersebut tidak hilang.
Kemudian untuk biasanya bertani atau bekerja membantu orang tua, bisa dikenalkan kegiatan wirausaha untuk mendorong kemandirian.

Dipublikasikan perdana di http://www.kisnoumbar.com/


Share:

⁠⁠⁠Berkah Ramadhan, Sebulan Bisa Makan Gratis

sumber: internet
Berkah Ramadhan benar-benar dirasakan Mahasiswa yang ada di Kota Malang. Mungkin juga di Kota yang padat mahasiswa lainnya. Bulan yang bisa menjadikan anggaran pengeluaran makan para mahasiswa benar-benar berkurang. Sebab, beberapa masjid beramai-ramai menyediakan takjil hingga nasi kotak untuk berbuka puasa. Bahkan ada pula yang menyediakan hidangan sahur juga.
Adapun beberapa masjid yang dikenal pamiliar menyediakan takjil di Kota Malang, ada Masjid Raden Fatah yang terletak di Universitas Brawijaya (UB). Masjid Muhajirin yang terletak di Jalan Siigura-sigura kiri jalan setelah ITN. Masjid Merjosari yang terletak di kiri jalan di daerah taman merjosari. Serta ada pula masjid Al-Isti'dad yang terletak di belakang Universitas Gajayanan (UNIGA). Dan masih banyak Masjid lainnya yang mungkin belum kami data. Kemudian untuk masjid yang menyediakan makan sahur adalah masjid Fakhrudin Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).
Keberkahan Ramadhan itu, benar bemar dirasakan oleh Abdul Muhaimin, mahasiswa Biologi UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Sebab, dirinya hampir tidak pernah absen mengikuti buka bersama di masjid. Biasanya dia mencari takjil di Masjid Al-Isti'dad, karena langganan setiap bulan ramadhan. Kecuali saat bersamaan ada undangan buka bersama.  "Berhubung ada yg menyedikan berbuka gratis di Masjid, kenapa tidak diterima saja," ungkap dia dengan sedikit bercanda.
Buka puasa dan sahur gratis tentu tidak hanya digandrungi pria asal Nganjuk seorang, hehe. Buktinya, hampir setiap sore, masjid yang menyediakan buka puasa selalu dipadati jamaah. Dan yang terlihat menanti, sepertinya wajah-wajah mahasiswa. Jarang sekali penduduk sekitar yang ikut andil dalam buka bersama di masjid, kecuali dia menjadi salah satu koordinator takjil jelang buka.
Jika diperhitungkan, berkah hemat memang dirasakan mahasiswa. Bayangkan jika setiap hari anggaran untuk buka minimal Rp 10 ribu, jika 25 hari bisa jadi 250 ribu. Nah, uang tersebut bisa jadi ongkos mudik lebaran bersama orang orang tercinta, atau buat beli pakaian lebaran, trend kelasik yang masih ramai dan membudaya di Indonesia.
Eh, apalagi bagi mahasiswa tingkat akhir. Jerih payah hemat itu bisa buat beli kertas untuk melayani coretan coretan dosen pembimbing skripsi.
Atau untuk ditabung buat daftar wisuda yang sudah kelar skripsinya.
Dul, sapaan akrab Abdul Muhaimin mengungkapkan, mencari takjil di masjid tidak hanya sekedar mencari hidangan untuk membatalkan puasa selama sehari penuh. Tetapi juga berupaya bisa sholat jamaah tepat waktu. "Kalau saya buka puasa sendiri di kontrakan, kadang tidak mesti jamaah. Kalaupun jamaah ya dikontrakan. Kalau di masjidkan lebih afdhol untuk Jamaah," ungkap pria berusia 23 tahun itu, .
Selain itu, mahasiswa semester akhir tersebut menerangkan, bulan ramadhan banyak yang sedakoh. Salah satunya lewat takjil yang dibagikan di masjid. "Nah kalau takjilnya banyak, dan pengunjungnya sedikit kan eman. Nah, saya bersedia menjadi penerimanya," kata Dul, lalu tersenyum.
Sore tadi terpantau, halaman masjid Al-Isti'dad padat pengunjung yang sedang mendengarkan khazanah ramadhan jelang adzan magrib. Satu persatu mereka yang datang, mendapatkan satu kotak nasi, minum dan tiga biji kurma ala sunnah rosul.
Tak hanya di Masjid Al-Isti'dad, di selatan taman Singha masjid Muhammadiyah juga rame oleh pengunjung yang menantikan adzan dan pembagian takjil.
Momentum khazanah ramadhan di masjid dan pemberian takjil sebetulnya sudah membudaya di Kota Malang. Mahasiswa baru yang ada di Kota Malang saat puasa pun pastinya akan akrab dengan istilah para pemcari takjil (PPT).
Manfaat silaturrahim sebetulnya bisa dicapai ikut mencari takjil. Namun, sependek pengamatan saya, jarang terjadi komunikasi antar kanan kiri mereka. Begitu bedug dipukul dan adzan dikumandangkan, semuanya lahap menyantap sajian bukanya. Tak ada yang bertegur sapa untuk tanya nama atau asal kampus. Ah, sudahlah mungkin sudah musimnya. Atau mungkin mereka tidak bertegur sapa, karena waktunya tidak mendukung. Semoga saja,
Share:

Monday, June 12, 2017

148.066 Peserta Lulus SBMPTN 2017

Penetapan hasil Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) 2017 akan diumumkan pada hari Selasa, 13 Juni 2017 mulai pukul 14.00 WIB. “Sebanyak 148.066 peserta atau sekitar 14,36 persen dari 797.738 pendaftar SBMPTN 2017 dinyatakan lulus sebagai calon mahasiswa baru di 85 PTN,” ujar Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Prof Mohamad Nasir PHd pada jumpa pers di ruang sidang lantai 3 Gedung D Kemenristekdikti, Jakarta (12/6/2017).


Menristekdikti mengatakan bahwa SBMPTN merupakan tahap kedua dari proses penerimaan mahasiswa baru di perguruan tinggi negeri, setelah sebelumnya telah dilakukan tahap pertama melalui SNMPTN. Tahun ini terjadi peningkatan jumlah peserta SBMPTN dan jumlah peserta yang diterima di PTN. Total pendaftar SBMPTN 2017 adalah 797.738, lebih tinggi dari tahun 2016 sebanyak 721.326 pendaftar. “Peserta Bidikmisi yang ikut SBMPTN tahun 2017 juga meningkat, tahun lalu sebanyak 124.398 peserta sedangkan tahun ini ada 158.157 peserta,” jelas Nasir.

Total peserta kelompok NonBidikmisi/ Reguler yang diterima sebanyak 113.968 peserta dan peserta kelompok Bidikmisi yang diterima sebanyak 34.098 peserta. Rincian peserta yang diterima menurut jenis ujian Paper Based Test (PBT) sebanyak 143.523 peserta, dan Computer Based Test (CBT) sebanyak 4.543 peserta. Peserta Saintek diterima sebanyak 61.015, peserta Soshum diterima sebanyak 59.714 dan peserta kelompok Campuran yang diterima sebanyak 27.337 peserta.

Dirjen Belmawa Intan Ahmad mengatakan, calon mahasiswa yang eligible Bidikmisi dapat menggunakan tiga jalur untuk masuk perguruan tinggi negeri yakni jalur SNMPTN, SBMPTN dan jalur Mandiri. Peserta Bidikmisi yang lulus SBMPTN akan dilakukan verifikasi kelayakan dan verifikasi kuota oleh perguruan tinggi penerima. “ Jumlah kuota Bidikmisi tahun 2017 adalah 80.000 orang. Jika jumlah peserta Bidikmisi di perguruan tinggi lebih besar dari kuota, setiap perguruan tinggi diharapkan membantu calon mahasiswa dari kalangan tidak mampu sesuai dengan skema yang ditetapkan masing-masing perguruan tinggi,” ujar Intan.

Salah satu perguruan tinggi yang  memiliki pengalaman mengatasi kekurangan kuota Bidikmisi adalah Institut Pertanian Bogor. Rektor IPB yang juga bertindak sebagai Ketua Majelis Rektor Perguruan Tinggi Negeri Herry Suhardiyanto mengatakan bahwa skema yang digunakan untuk mengatasi kekurangan kuota Bidikmisi di IPB adalah dengan menggunakan bantuan beasiswa dari alumni.

Ravik Karsidi mengatakan peserta SBMPTN 2017 dapat melihat pengumuman hasil seleksi SBMPTN 2017 secara online melalui laman http:/pengumuman.sbmptn.ac.id. Selain itu, pengumuman juga dapat dilihat di website PTN masing-masing atau bisa juga dilihat pada laman mirror di 12 PTN sebagai berikut:
1. http://sbmptn.ui.ac.id
2. http://sbmptn.itb.ac.id
3.http://sbmptn.undip.ac.id
4. http://sbmptn.its.ac.id
5.http://sbmptn.ugm.ac.id
6. http://sbmptn.ipb.ac.id
7.http://sbmptn.unair.ac.id
8.http://sbmptn.unand.ac.id
9.http://sbmptn.unsri.ac.id
10.http://sbmptn.unhas.ac.id
11.http://sbmptn.untan.ac.id
12.http://sbmptn.unsyiah.ac.id


Mekanisme pengumuman SBMPTN melalui internet adalah sebagai berikut:

1.Peserta diminta memasukkan nomor peserta dan tanggal lahir
2.Jika peserta diterima akan ditampilkan Nomor peserta, nama peserta, nama PTN diterima, nama prodi diterima, ucapan “ selamat atas keberhasilan anda”
3.Jika peserta tidak diterima akan ditampilkan nomor peserta, tanggal lahir peserta dan ucapan “ Mohon maaf, peserta atas nama…, dengan nomor peserta…dinyatakan Tidak Diterima pada SBMPTN 2017".

Peserta SBMPTN yang belum lulus diharapkan untuk tetap semangat, karena masih ada tahapan ketiga penerimaan mahasiswa baru perguruan tinggi negeri yakni Seleksi Mandiri Masuk Perguruan Tinggi Negeri sebagai jalan untuk menempuh pendidikan di PTN. Selain itu, putra putri Indonesia juga bisa melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi swasta (PTS) yang diakui oleh pemerintah. Agar calon mahasiswa dapat memilih dan masuk perguruan tinggi yang diakui legalitasnya, diharapkan terlebih dahulu untuk melihat status perguruan tinggi di Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PDDikti) forlap.ristekdikti.go.id.

Rincian peserta yang diterima menurut kelompok ujian dapat dijelaskan sebagai berikut:

Sepuluh PTN dengan nilai rataan diterima tertinggi untuk kelompok ujian Saintek, dengan urutan sebagai berikut :

1.Institut Teknologi Bandung–ITB
2. Universitas Indonesia–UI;
3.Universitas Gajah Mada–UGM;
4. Institut Teknologi Sepuluh Nopember-ITS;
5. Universitas Airlangga-UA;
6. Universitas Padjadjaran-UNPAD;
7. Universitas Dipenegoro (UNDIP);
8.Institut Pertanian Bogor-IPB ;
9. Universitas Sebelas Maret-UNS; dan
10. UPN “Veteran” Yogyakarta.

Sepuluh PTN dengan nilai rataan diterima tertinggi untuk kelompok ujian Soshum, dengan urutan:

1. Universitas Indonesia–UI;
2. Universitas Gajah Mada–UGM;
3. Institut Teknologi Bandung–ITB;
4. Universitas Padjadjaran-UNPAD;
5. Universitas Airlangga-UA;
6. Universitas Dipenegoro-UNDIP;
7. Universitas Brawijaya-UB ;
8. UPN “Veteran” Yogyakarta ;
9. Universitas Sebelas Maret-UNS ; dan
10. Universitas Jenderal Sudirman-Unsoed.

Peserta dengan nilai tertinggi Kelompok Ujian Saintek dan Soshum diraih oleh peserta yang diterima di Universitas Indonesia pada prodi Ilmu Komputer dan Ilmu Ekonomi ; dari kelompok ujian Soshum/Bahasa diraih peserta yang diterima di Universitas Airlangga pada Sastra Inggris .

Hal menarik, terdapat 38 peserta disabilitas yang diterima pada SBMPTN 2017 dari 226 peserta terdaftar. Rincian jenis peserta difabel yang diterima sebagai berikut :
(1) Tuna netra ;
(2) Tuna Rungu;
(3) Tuna Wicara dan
(4) Tuna Daksa.

10 Program Studi Paling Banyak Diminati Peserta SBMPTN
1.Manajemen
2.Akutansi
3.Ilmu Hukum
4.Pendidikan Dokter
5.Teknik Sipil
6.Ilmu Komunikasi
7.TI
8.Psikologi
9.Farmasi
10.Agribisnis


10 PTN Terima SBMPTN 2017 Terbanyak
1.Universitas Brawijaya 4.176
2.Universitas Nusa Cendana 4.122
3.Universitas Negeri Padang 4.022
4.Universitas Padjajaran 4.020
5.Universitas Diponegoro 3.546
6.Universitas Udayana 3.470
7.Universitas Indonesia 3.467
8.Universitas Sumatera Utara 3.415
9.Universitas Sebelas Maret 3.351
10.Universitas Pendidikan Indonesia 3.221

10 PTN Dengan Peserta SBMPTN BIDIKMISI Terbanyak
1.Universitas Negeri Padang 1.684
2.Universitas Negeri Gorontalo 1.539
3.Universitas Malikussaleh 1.367
4.Universitas Halu Uleo 1.113
5.Universitas Negeri Semarang 1.109
6.Universitas Trunojoyo 1.081
7.Universitas Jember 924
8.Universitas Negeri Surabaya 921
9.Universitas Sebelas Maret 911
10.Universitas Pendidikan Indonesia 900

10 Provinsi dengan Nilai Rataan Diterima Tertinggi
Saintek
1.DKI Jakarta
2.DI Yogyakarta
3.Banten
4.Jawa Tengah
5.Jawa Barat
6.Jawa timur
7.Lampung
8.Sumatera Barat
9.Riau
10.Bali

Soshum
1.DKI Jakarta
2.DI Yogyakarta
3.Banten
4.Jawa Tengah
5.Jawa Barat
6.Jawa timur
7.Lampung
8.Sumatera Selatan
9.Sumatera Barat
10.Kalimantan Selatan

Sumber:
Biro Kerjasama dan Komunikasi Publik Kemenristekdikti dan Panitia Pusat SNMPTN SBMPTN
Share:

Friday, June 9, 2017

Menjaga NKRI, Melestarikan Warisan Ulama

Adakah negeri seplural Indonesia? Jumlahnya pulaunya ada belasan ribu, bahasanya ada ratusan, demikian pula suku bangsanya dan juga agamanya yang beragam. Mungkin hanya Indonesia yang mampu berdiri diatas heterogenitas masyarakat yang ada.
Jika tidak, tentu bakal ada banyak negera bagian. Bisa berdasarkan afiliasi pulau, bisa pula bahasa, juga suku bangsanya masing-masing. Namun, itu tidak terjadi di Indonesia saat ini. Karena ada satu landasan ideologi bangsa yg dijunjung bersama sejak 1945 silam, yaitu pancasila yang termaktub dalam pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Melihat kondisi sekarang ini, Indonesia yang terbentuk dari heterogenitas sepertinya sedang diuji. Kelompok-kolompok yang tidak sepakat pancasila sebagai ideologi bangsa, mulai bergerak dengan tanpa tedeng aling-aling. Misalnya, maraknya gerakan kelompok-kelompok radikal dan ektrimis yang mulai beranjak dari Timur Tenggeh ke Indonesia. Peristiwa pengeboman yang hampir setiap tahun tidak pernah absen.
Sedikit membuka memori masa lalu, tentu kita sebagai warga Indonesia tidak lupa dengan pristiwa pengeboman yang terjadi pada 12 Oktober 2002 malam di Bali, yang menewaskan 202 orang. Tepat pada 5 Agustus 2003 silam, disusul dengan ledakan bom di kawasan Hotel JW Mariott, Jakarta. Berlanjut pada 9 September 2004 sebuah bom mobil meledak di depan Kedutaan Besar Australia di kawasan Kuningan, Jakarta. Kamudian tahun 2005,  juga kembali ledakan bom kembali mengguncang Bali, tepatnya pada 1 Oktober.
Peristiwa pengeboman sempat terhenti beberapa tahun di Indonesia, hingga 17 Juli 2009, kembali bom meledak di Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton di kawasan Mega Kuningan, Jakarta Selatan.
Tahun 2010, ledakan bom bunuh diri yang dilakukan oleh Ahmad Abdul Rabani dengan menggunakan sepeda ontelnya di kawasan Kalimalang Bekasi.  Lalu pada 15 April 2011 peristiwa bom bunuh diri yang terjadi di Masjid adz-Dzikro Cirebon. Bom Mapolres Poso yang terjadi 2013 lalu, dilanjutkan dengan Bom Sarinah yang terjadi 2016 dan terakhir bom kampung melayu yang terjadi 24 Mei lalu.
Tidak hanya lewat teror dengan menggunakan bom saja. Sebagian kelompok lain yang juga menolak pancasila sebagai ideologi bangsa juga melakukan upaya gerekan bawah tanah. Lewat forum-forum diskusi dan bangku-bangku perkuliahan, ingin menanamkan cita-cita mereka menjadi negara yang pedoman pada satu agama secara kaffah.
Saat berdiskusi dengan Rektor UIN Maulana Malik Ibrahim Malang selasa lalu (6/6). dalam Seminar Nasional , Prof Dr Mudjia Rahardjo, dengan tegas menyatakan, adakah negara makmur hingga saat ini dengan berdiri di atas paham atau agama? Dalam sejarah, katanya tidak ada bangsa yang makmur bisa berdiri murni di atas satu paham kegamaan. Misalnya saja, seperti Yugoslavia yang kini terpecah menjadi beberapa negara misalnya Kroasia, Bosnia, dan Serbia.
Kemudian negara-negara yang ada di Timur Tengah yang sekarang kondisinya sedang genting. Padahal mereka sesungguhnya negara menganut paham-paham kegamaan. Sudan yang kemudian terpecah menjadi Sudan Utara dan Sudan Selatan.
Adakah kira-kira yang lebih ampuh dari pancasila yang bisa menyatukan keberagaman menjadi satu kesatuan negara yang berdaulat menjelang kemerdekaan yang ke – 72  tahun.
Meskipun Pancasila dinilai ampuh bisa menjadi pemersatu bangsa, bukan berarti ancaman dari luar dan dalam tidak menjadi kendala. Sebab, semakin tahun pemahaman akan persatuan di atas perbedaan di Indonesia ini tampak melemah. Banyaknya ujaran kebencian yang tersebar di media sosial (medsos) yang mangatas namankan kelompok tertentu dan agama tertentu yang saling menyerang. Bahkan sebagian kelompok yang tidak terima dengan tindakan tersebut juga melakukan ancaman-ancaman bahkan tindakan persekusi pada pelaku ujaran kebencian. Tanpa lewat jalan hukum, namun menggunakan hukum mereka sendiri.
Ya, beginilah, Tindakan yang mengancam persatuan di Indonesia ternyata tidak sedikit. Dan bahkan ancaman itu juga mungkin tidak sadar lewat diri kita sendiri yang acuh atas perubahan tersebut. Bagaimana tidak? Disaat ada sesuatu yang harus diluruskan, namun kebanyakan akademisi memilih diam untuk melihat hasil sembari mengatakan bentuk observasi untuk diteliti. Apakah iya? Atau takut dan tidak melakukan tindakan.
Selogan ‘inilah tugas kita menjaga kesatuan NKRI’ terlampau sering dikumandangkan. Namun, dalam realitasnya masih nihil.
Selanjutnya, kenapa kenapa NKRI harus dipertahakan. Barangkali sebagian orang butuh alasan untuk mempertahankan sesuatu, termasuk NKRI ini.  Guru Besar Sosiolinguitik di UIN Maliki Malang itu menyatakan, salah satu alasan yang menambahkan keyakikanan, Indonesia ini merupakan warisan dari jerih payah para santri dan ulama yang ada  di Indonesia. Mereka turut serta dalam upaya memerdekaan NKRI tersebut. Bahkti kita pada ulama itu bisa jadi lewat mempertahakan negeri ini.
Dalam buku Kiai dan Santri dalam Perang Kemerdekaan ditulis, H Soleh Hayat, mengupas dengan gamblang bagaimana para ulama dan santri andil dalam perjuangan kemerdekaan dalam Laskar Perang Hizbullah dan Sabilillah dan juga sebelum adanya Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Sebelum kemerdekaan, peran Kiai dapat dilihat dari perjuangan dari Sultan Alaudin Awwalul Islam melawan penjajah di Makasar. Kemudian Pangeran Diponegoro yang melakukan perlawan di Jawa, kemudian ada Cik Di Tiro ulama yang berjuang di aceh melawan penjajah. Dan masih banyak para ulama lainnya yang turut memperjuangkan kemerdekaan dan tersebar di berbagai wilayah di Indonesia.
Peran ulama dan santri begitu terlihat beberapa sebulan setelah kemerdekaan Republik Indonesia atau 17 September 1945, saat KH. Hasyim Asy’ari mengeluarkan fatwa jihad berisikan ijtihad perjuangan membela tanah air suatu jihad fi sabilillah atas permintaan Presiden Soekarno. Peristiwa tersebut berlanjut hingga perang besar pada 10 November 1945. Dalam pertempuran-pertempuran tersebut kiailah yang bertindak sebagai pimpinan pasukan, seperti KH Asyim Asy’ari yang juga berindak sebagai komandan tertinggi Laskar Hizbullah,kemudian ada Kiai Abbas dan KH Abd Wahab Hasbullah, Bung Tomo (Soetomo). Perjuangan pada waktu yang sama 10 November juga dilakukan ulama di Jawa Barat KH. Muslich dari Cilacap, juga diikuti ulama dari Aceh dan wilayah Sumatra lainnya.
Sebetulnya perjuangan ulama begitu besarnya, namun kenapa rumusan negara ini tidak beridi di atas salah satu paham keagmaan saja? Prof Mudjia sempat mengulas, sebetulnya waktu pembentukan Piagam Jakarta hal tersebut bisa saja dilakukan. Sebab, empat dari tim sembilan pada piagam jakarta adalah tokoh muslim. Namun tidak dilakukan, sebab memperhatikan keberagaman di Indonesia yang tidak hanya dihuni oleh warga muslim. Kemudian dasar Ketuhanan Yang Maha Esa Lah yang digunakan.
Jika sudah mengerti seperti ini, apa yang akan anda lakukan? Silakan direnungkan dan diniatkan masing-masing. Yang jelas ancaman terhadap Republik ini, makin tahun makin nyata.

Share:

UIN Malang Serius Perangi Gerakan Radikal Di Kampus

Seminar: Rektor UIN Maliki Malang Prof Dr Mudjia Rahardjo tegaskan kampusnya bebas dari gerakan radikal, Selasa (6/6/2017)
”Jika tidak loyal dengan negara, berarti bukan di kampus tempatnya,” tegas Rektor UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, Prof Dr Mudjia Rahardjo, MSi
Malang Kota - Gerakan radikal sepertinya tidak mendapatkan tempat lagi di UIN Maulana Malik Ibrahim (UIN Maliki) Malang. Baik dari kalangan mahasiswa, karyawan kampus atau bahkan dari kalangan dosen. Hal tersebut diungkapkan Pelaksana Tugas (Plt) Rektor UIN Maliki Malang, Prof Dr Mudjia Rahardjo MSi pada acara Seminar Nasional yang diadakan Keluarga Alumni Mahasiswa Bidikmisi UIN Maliki Malang, kemarin (6/6).
Rektor menceritakan, saat kegiatan upacara bendera di kampusnya ada salah seorang dosen yang dengan sengaja tidak hormat sangat pengibaran bendera merah putih. ”Saat itu langsung saya tanya, anda memilih loyal dengan negara ini atau memilih keluar dari kampus,” bebernya pada ratusan peserta yang hadir pada acara terseut.
Menurut Guru Besar Sosiolingusitik itu, kampus negeri itu ya lembaga pendidikan miliki negara. Yang harus dikelola oleh orang yang loyal pada negara. ”Jika tidak loyal dengan negara, berarti bukan di kampus tempatnya,” tambahnya.
Sebetulnya hormat bendara itu termasuk cinta pada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Cinta NKRI tersebut juga termasuk cinta ulama. Sebab yang kemerdekaan NKRI ini juga tidak terlepas dari perjuangan para ulama dan santri. ”mencintai NKRI ini wujud bakti kita pada ulama,” jelasnya.
Selanjutnya, untuk menangkal gerakan radikalis di kampus, Rektor menyampaikan agar mahasiswa memiliki semangat merawat kebhinekaan. Karena kebhinekaan adalah simbol kekayaan Indonesia dengan ribuan sukunya, bahasa dan beragam agamanya. ”Jika tidak memiliki semangat kebhinekaan, mustahil yang namanya berdampingan dengan toleran terwujud,” jelasnya.
Jika sekarang ada sebagian orang yang tidak menghendaki kebhinekaan dan pancasila sebagai dasar negara, Rektor menantang, adakah yang terbukti sukses dengan negara agama. Mudjia membeberkan, banyak negara di Timur Tengah yang justru hancur dengan satu agama saja. Sudah terpecah menjadi dua. Kemudian Yugoslavia yang kini terpecah menjadi beberapa negara misalnya Kroasia, Bosnia, dan Serbia. ”Jadi pancasila itu ideologi bangsa yang ampuh,” tegasnya.
Sementara itu, Anggota DPD RI Dapil Jawa Timur (Jatim) Abdul Qadir Amir Hartono yang juga sebagai salah satu pemateri, menekankan pada generasi muda untuk memiliki komitmen menjaga pancasila. Sebab pancasila itu lengkap dan menjadi sumber dari berdirinya NegaraKesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini. ”Komitmen itu harus dibuktikan dengan tindakan yang nyata,” bebernya.
Jangan sampai komitmen lewat mulut saja. Gus Anton-sapaan akrabnya menekankan, aksi nyata yang perlu dilakukan.Misalnya dengan menghomrati kesenian lokal dan melestrikannya. ”Kalau generasi muda sudah tidak meleastarikan budaya lokalnya, maka gerakan yang merongrong toleransi dalam memegang erat kebhinekaan terancam,” pungkasnya. (admin)

Share:

Alumni Bidikmisi UIN Malang Suarakan Semangat Kebhinekaan

Berdiskusi: (dari kiri) Sekjend KAMABI, Rektor UIN Maliki Malang Porf Dr Mudjia Rahardjo, dan anggota DPD RI, Abdul Qadir Amir Hartono sedang membincang isu kebhinekaan, Selasa (6/6/2017). 
Malang Kota - Kebhinekaan di Indonesia akhir akhir ini sepertinya sedang diuji. Sebab, banyak sekali ujaran sara dan kebencian yang diumbar dalam media sosial (medsos) antar umat bergama dan juga suku. Bahkan, ada golongan yang tidak terima hingga melakukan intimidasi bahkan persekusi pada pelaku ujaran kebencian melalui jalur hukum.
Merespon hal tersebut, Keluarga Alumni Mahasiswa Bidikmisi (KAMABI)  bekerjasama dengan Keluarga Besar Mahasiswa Bidikmisi (KBMB) UIN Maulana Malik Ibrahim Malang mengadakan Seminar Nasional bertemakan Mempererat Kebhinekaan sebagai Identitas Bangsa untuk mewujudkan generasi muda yang toleran, di Gedung C UIN Maliki Malang, Selasa (6/6).
Plt Rektor UIN Maulana Malik Ibrahim (UIN Maliki) Malang, Prof Dr Mudjia Rahardjo mengungkap, Indonesia ini termasuk negara yang paling plural di dunia. Jumlahnya sukunya, bahasanya, bangsanya ada ratusan juga ada beragam agama. Selain itu, wilayah di Indonesia juga terpisah-pisah oleh lautan, bahkan sebagian besar wilayahnya adalah laut. Oleh sebab itu, mempererat kebhinekaan dan memegang teguh panacasila di Indonesia itu menjadi suatu keharusan. "Pancasila itu ideologi bangsa yang benar benar ampuh bukan? Kalau tidak Indonesia sudah terpecah menjadi puluhan negara bagian," bebernya.
Memegang pancasila berarti sama dengan menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Selanjutnya kata Prof Mudjia, menjaga NKRI sama dengan merawat peninggalan ulama. "Menjaga NKRI ini sama dengan bakti dengan ulama. Karena dibalik kemerdekaan ini ada perjuangan ulama luar biasa," paparnya.
Prof Mudjia juga mendorong mahasiswa untuk bersama menjaga NKRI dan pancasila sebagai ideologi. "Dengan berpegang pada pilar piar bangsa itu, kita bisa hidup lebih toleran berdampingan," jelasnya.
Sementara itu, Anggota DPD RI Dapil Jawa Timur (Jatim) Abdul Qadir Amir Hartono yang juga sebagai salah satu pemateri, menekankan pada generasi muda untuk memiliki komitmen menjaga pancasila. Sebab pancasila itu lengkap dan menjadi sumber dari berdirinya NegaraKesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini. ”Komitmen itu harus dibuktikan dengan tindakan yang nyata,” bebernya.
Jangan sampai komitmen lewat mulut saja. Gus Anton-sapaan akrabnya menekankan, aksi nyata yang perlu dilakukan.Misalnya dengan menghomrati kesenian lokal dan melestrikannya. ”Kalau generasi muda sudah tidak meleastarikan budaya lokalnya, maka gerakan yang merongrong toleransi dalam memegang erat kebhinekaan terancam,” pungkasnya.
Sekretaris Jendral (Sekjend) KAMABI, Kisno Umbar menyatakan, seminar nasional itu memang sengaja diadakan untuk menyegarkan pemahaman tentang pancasila lebih dalam sebagai ideologi bangsa. Sebab, sekaranh banyak serangan dari beberapa golongan untuk melemahkan pancasila. "Kami harapkan dengan seminar nasional itu, akan membuka wawasan mahasiswa Bidikmisi lebih luas terkait dengan ideologi bangsa," tutupnya. (admin)

Share:

Tuesday, April 25, 2017

Rosyid Husnul Waro’i Pegiat Literasi dari Komunitas ke Mancanegara

Tidak ada istilah putus asa. Menggiati literasi sudah menjadi hobi pemuda kelahiran Sidoarjo ini. Komitmennya dalam dunia literasi telah menjembatani dia menuju panggung literasi mancanegara.
Foto/documen pribadi
***
M. Rosyid Husnul Waro’i merupakan segelintir diantara sekian banyak mahasiswa UIN Maulana Malik Ibrahim Malang yang beruntung. Berawal dari perjuangannya dalam menjalani kehidupan sebagai pegiat literasi, kini Pria kelahiran Sidoarjo itu, mulai mengenal dunia literasi Mancanegara di Singapura Mei 2016 hingga 15 Mei 2016.
Pria yang pernah menjabat ketua Himpunan Mahassiswa Jurusan Bahasa (HMJ) Inggris UIN Maliki Malang, bertanda ke Singapura atas permohonan pengkaji Sastra Indonesia dari National University of Singapura (NUS), Azar Ibrahim Ph.d. Rosyid diperbantukan sebagai Asisten riset untuk pembuatan buku Sastra Indonesia dengan fokus kajian Pramudya Ananta Toer dan Muchtar Lubis. ”Saya membantu mereview beberapa karya dari dua satrawan itu,” ujar dia.
Berkunjung ke Mancanegara bagi orang yang mampu menjadi hal biasa. Namun bagi Rosyid, itu adalah sebuah kebanggan tersendiri. Apalagi baginya yang kuliah di UIN Maliki Malang sebagai mahasiswa penerima beasiswa Bidikmisi.
Di sana dia dikenalkan dengan Malay Haritage Center pusat kebudayaan melayu Singapura. Selain menikmati destinasi itu, Pria yang juga pernah menjabat Ketua SEMA-F UIN Maliki Malang juga mengikuti kelas program sejarah sastra melayu. “Saya belajar banyak tentang literasi melayu di sana,” jelasnya sambil tersenyum bahagia.
Keingginanya untuk bertandang ke Singapura sejak lama. Pada seleksi yang diadakan Fakultas Humaniora UIN Maliki Malang 2015 lalu untuk pertukaran mahasiswa, anak pertama dari tujuh bersaudara itu kurang beruntung. Niatnya untuk kerkunjung ke singapura di tahun 2015 itu harus pupus untuk sementara. “Walaupun saya belum beruntung, saya yakin suatu saat nanti pasti akan ada penggantinya yang lebih baik.” ungkapnya dengan penuh keyakinan.
Pengalaman ke Singapura baginya, merupakan kali ke dua perjalanan ke Luar Negerinya setelah empat tahun lalu sempat diberangkatkan ke Jepang. “Saya juga tidak pernah menyangka akan diberangkatkan ke sana,”tuturnya. Itu program pertukaran pelajar Japan-East Asia Network of Change for Student and Youth (JENESYS) dari pesantrennya, dan kebetulan dia menjadi delegasi yang terpilih diantara 500 santri yang ada di yang diikutinya.
Dalam obrolan yang lebih panjang, dia membagi kisahnya bagaimana ia dapat terpilih dan menjadi Asisten Riset seorang dosen muda dari NUS itu. “Saya merasa ini sebuah keberuntunga,” tuturnya. Rosyid tidak akan mengira dia akan bolak balik ke Singapura dengan begitu mudah.
Ceritanya berawal dari sebuah komunitas. “Saya dulu itu tidak terlalu aktif dalam dunia literasi seperti sekarang ini,” ungkap dia penuh rasa syukur.
Menekuni dunia literasi semenjak duduk di semester tiga Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris. “Yah, berawal dari sana, kemudian saya mulai mengenal banyak komunitas, seperti komunitas literasi dari UIN namanya Lilin, lantai kemudian barulah mengenal Pelangi sastra Malang,  Gusdurian, dan Pelestarian Sejarah Kebudayaan Kadiri (Pasak,” terang dia.
Dari komunitas itu, pria berusia 24 tahun itu merasa terbekali dengan semangat-semangat baru mendalami literasi di Indonesia, khusunya sastra. “Saya lebih conderung menyukai sastra Indonesia ketimbang harus bergelut dengan sastra inggris,” ungkapnya.
Berangkat dari sana, dia mulai bangkit untuk menjadi pemabaca yang baik bagi beberapa karya sastra klasik di Indonesia. “Setiap bulan saya targetkan minimal lima buku karya sastra berupa novel harus saya habiskan,” ungkapnya dengan penuh antusias.
Kecintaannya dalam dunia literasi tidak sebatas itu. “Setelah saya membaca, biasanya saya mencoba untuk menuliskan ide baru yang saya dapat dalam bentuk prosa-praosa pendek,” jelasnya. Ia juga menambahkan tulisan itulah yang kemudian sering saya kirim ke media. Selama ini, karyanya berhasil di muat di  dengan judul Burung Abad 20, kemudian di Malang Post yang berjudul Lautan Rei, diteruskan di Koran Madura berjudul Cabai di belakang rumah, di Radar Surabaya berjudul Gadis Penumpang Mikrolet, dan di Floressastra berjudul Pelukis Gunung Semeru. ”Karyanya tidak hanya itu, banyak tulisan saya yang belum kemuat di media juga,” jelasnya dengan tetap semangat.
Tidak hanya fokus pada karya prosa saja, Rosyid juga memiliki kemampuan riset yang baik. “Mungkin kemampuan saya riset ini juga menjadi bagian point utama kenapa dosen NUS Itu memilih saya,” ungkap dia. Selama ini dia sudah melakukan banyak riset terkait perkembangan sastra di Indonesia, bahkan tidak sedikit karyanya yang sudah dipresentasikan dalam konferensi nasional maupun internasional dalam mengaji bahasa dan sastra. “Saya juga betuntung atas fasilitas tersebut, khususnya kepada fakultas yang selalu mensuport saya untuk tekun meneliti,” tuturnya.
Tidak sedikit pemuda yang idealis menggeluti sastra seperti Rosyid. Dia membaca dengan target, menulis di media setiap Minggu-nya. Bahkan ia tidak pernah luput dengan aktifitas penelitian yang selalu digelutinya. Tidak heran, diusianya yang masih muda, ia sudah sangat produktif dan telah melebarkan sayapnya di dunia literasi Mancanegara.
Share:

Stats

Advertisement

Esensi Permendikbud Tentang Sekolah Lima Hari Dipertanyakan

Anak SD belajar, sumber:  http://4.bp.blogspot.com Wacana sekolah lima  hari yang kabarnya bakal diterapkan tahun ajaran baru, Juli men...